"Dunia
tak tahu, kamu pernah membawakan purnama ke pandanganku saat cahaya
bintang itu perlahan-lahan meredup. Dunia tak tahu, kamu pernah
mencoretkan diksi-diksi terindah di buku kehidupanku saat lembar buku
itu mulai usang dan hampir saja ku sobek. Dunia pun tak tahu, kamu
bahkan pernah menyulut api asmara di pusat hatiku saat aku mulai tak
ingat kapan api itu berkobar terakhir kali. Dan saat itu, dunia tak
pernah tahu bahwa aku mulai terpikat olehmu"
***
Dengan
gerakan spontanitas, Naya mencomot keripik balado dari dalam toples
sembari matanya tetap mengintimidasi tajam adegan drama dari benda
kotak canggih yang membuatnya mengomel sendiri. Naya tak habis pikir,
mengapa drama itu
sangat menyebalkan.
Mulai dari tokoh dengan ekspresi topengnya hingga alur cerita yang
tak pernah berbeda dari semua drama yang ditontonnya
-tidak-sengaja-lebih-tepatnya. Sungguh, dia benar-benar membenci
drama.
Leher
Naya dipaksa berputar saat mengetahui kenop pintu kamarnya bergerak
dari luar. Membuat denyut jantungnya berhenti sesaat. Naya teringat
bahwa Ia sendirian di rumah. Begitu pintu terbuka sempurna, Naya
bernafas lega. Ah,
itu Mila, sahabatnya. Bikin deg-degan aja nih. Mila udah sering main
ke rumah Naya sih, jadi dengan seenaknya Mila bisa keluar masuk ke
dalam rumah Naya bahkan kamar pribadinya.
"Pasti
lo kesini mau curhat, kan?" Naya melemparkan sebuah pertanyaan.
Lebih tepatnya pernyataan mungkin, karena bahkan sebelum Mila
menjawab pun Naya udah tahu jawabannya.
"You
know me so well lah.." Mila menjawab seadanya. ".. cowok
itu kenapa ngga peka sih, udah gue kodein dia masih cuek aja. Bete
gue, Nay" Lanjutnya dengan melakukan penekanan pada setiap kata
yang meluncur.
"Kenapa
lagi, sih? Kalian berdua itu kalo lagi romantis ya kebangetan.
Kalo lagi berantem ya gini, kayak saling ngga kenal" Naya paham
betul deh sama sikap sahabatnya ini sekaligus-pacarnya.
"Mentang-mentang
ada liga bola, dia jadi ngga punya waktu buat gue. Gue minta temenin
cari buku aja dia ngga bisa. Udah gue sindir juga, dia tetap batu"
Cerocosnya tanpa henti.
"Kalian
kudu saling introspeksi diri, jangan egois dong. Kan kalian musti
nyatuin dua kepala. Isinya beda. Harus ngertiin satu sama lain, Mil"
Mila
menghela nafas panjang. "Lo ngasih petuah gini, lo sendiri masih
jomblo"
Naya
menimpuk kepala Mila pake bantal yang dia bawa. "Bener juga sih.
Tapi kayaknya gue lagi jatuh cinta, Mil"
"Aaa.
Serius lo! Sama siapa?" Mila kemudian mencubit pipi chubby
sahabatnya ini. Ia memang paling menunggu kabar perihal jatuh cinta.
Turut bahagia, kalo Naya bahagia.
Tak
ada jawaban. Naya hanya diam. Beberapa detik hingga menit berjalan,
lalu beranjak pergi keluar dari kamarnya yang bikin Mila berteriak
gemas. Udah digantungin nunggu jawaban, eh malah ditinggal pergi
kemudian.
***
"Hey,
Nay. Mau kemana?" Ada yang menyapa Naya saat Ia berjalan di
lorong kampus di jumat siang itu. Seorang lelaki yang memang sudah
dikenal oleh Naya.
"Ini
mau pulang"
"Emang
ngga ada kelas lagi?"
"Engga
kok. Udah kelar. Cuma satu mata kuliah"
"Sekalian
gue juga mau balik. Gue anterin lo aja, gimana?"
"Oke"
Setelah mengiyakan, Naya mengikuti langkah lelaki yang menawarkan
tumpangan buatnya. Entah kenapa, Naya selalu nyaman berada di dekat
lelaki itu.
"Kita
mau langsung balik atau mau mampir dulu?"
"Niatnya
tadi gue mau transfer uang di bank sih"
"Yaudah,
kita ke bank dulu"
Naya
jadi agak malu sendiri. Udah nebeng eh
malah musti muter-muter buat urus keperluan pribadinya. "Btw,
makasih ya, Gresha. Sorry
kalo bikin lo repot"
Gresha
tergelak. "Udahlah nyantai aja, gua niat bantuin lo kok"
Naya
menangkap senyuman itu. Senyuman yang kemudian menjalar memasuki
memori di sel-sel otaknya. Gambaran senyuman yang mungkin tak akan
pernah terhapus. Ya! Senyuman tulus seorang lelaki yang tiba-tiba
membuat hatinya bergetar. Diliputi decak kagum keluar dari bibirnya
dengan lirih. Hanya Ia dan Tuhan yang tahu bagaimana ruang hatinya
saat ini. Sebut saja, bahwa Naya telah jatuh hati. Hatinya jatuh dan
kemudian terkunci pada pesona makhluk Tuhan satu ini.
Bukan
hanya senyumnya yang menggambarkan ketulusan anak manusia. Gresha
juga dianugerahi sepasang bola mata rupawan. Matanya tajam namun ada
keteduhan yang selalu hinggap disana. Seperti purnama yang sinarnya
selalu indah dan menyenangkan. Seperti riak air yang tenang namun
menghanyutkan apa saja di sekitarnya. Seperti hembusan angin yang
sukses menggugurkan daun-daun dari rantingnya. Naya suka mencuri
pandang ke arah mata Gresha yang lentik itu.
Dan
lagi, Naya memang mencintai sosok Gresha.
Naya
melamun di balkon rumahnya. Ia teringat bagaimana saat itu Gresha
telah mencuri perhatiannya tanpa permisi. Hingga detik ini pun, Naya
tak bisa menggugurkan perasaan ini. Perasaan itu terus tumbuh dan
mengakar kuat. Naya pun tak pernah tahu, dimana ujung itu berada.
Yang Naya tahu pasti, pesona Gresha telah membuat garis-garis penuh
warna di hari-hari Naya yang dulunya sekadar hitam dan putih. Jangan
salahkan Naya. Jangan salahkan Gresha. Jangan salahkan keadaan. Ini
kehendak Tuhan, biarkan hal itu membuat alurnya sendiri.
***
Mila
menemukan buku pribadi Naya yang tergeletak di nakas kamar Naya. Dan
lagi, buku itu dalam keadaan terbuka. Sebenarnya, Mila tak terlalu
peduli tentang isi tulisan di dalam buku tersebut. Namun pikirannya
tak sejalan, teringat tentang sosok yang sedang membuat Naya
tergila-gila. Mungkin
saja Naya menumpahkan segalanya di dalam buku itu,
batinnya. Mila makin dibuat penasaran, Ia coba memastikan bahwa
keadaan aman. Perlahan Ia mengambil, menimbang dan membacanya
perlahan.
"Aku benci saat
kamu tanpa permisi mencuri perhatianku. Aku benci saat kamu
mendorongku masuk dalam gelak pesonamu. Aku benci saat parasmu enggan
enyah dari sel-sel otakku. Aku benci saat nyatanya kamu memang bukan
siapa-siapa dan tak pernah jadi siapa-siapa untuk keseharianku. Aku
benci karena saat itu aku jatuh dan terjerat oleh sunggingan bibir
tipismu. Aku benci kenapa hal itu harus terlewati tanpa sengaja tanpa
terstruktur seperti jadwal meeting para pebisnis muda.
Aku sangat membencimu.
Aku benci karena kamu hanya cinta dalam ke-diam-diam-anku. Aku benci
karena rasaku harus tersimpan tak pernah terbongkar terkunci tertutup
rapat,
Berhentilah untuk
hadir di pelupuk mataku, berhentilah untuk jadi inspirasi dalam
coretan-coretanku, berhentilah untuk menghantui lamunanku bila malam
tiba, berhentilah~
Karena aku cukup tahu
diri bahwa kamu tak mungkin kumiliki, begitupun sebaliknya"
Dahinya
berkerut. Sayang sekali, Mila tak menemukan apa yang dia cari.
"Jadi
siapa sih yang bikin Naya jatuh cinta?!"
Selalu
begitu, sok misterius. Mila memang sering mendengar celoteh riang
Naya tentang lelaki yang bikin Naya lebih mencintai hidupnya saat
ini, yang bikin Naya terlihat tenang dan dewasa, yang bikin Naya
lebih sering tersenyum dan ceria. Namun satu yang pasti, Mila tak
pernah bisa mengulik identitas lelaki itu.
"Biarin
hanya gue dan Tuhan yang tahu tentang siapa pengisi hati gue"
Jawaban
sama dari Naya yang bikin Mila jadi keki sendiri. Hanya jawaban itu
yang meluncur tiap kali Mila bertanya sosok lelaki Naya.
"Enggak
kok. Dia aja ngga tau perasaan gue. Kita cuma teman, ngga lebih"
Naya
keukeuh. Ia tak pernah mau untuk mengungkapkan perasaannya pada
lelaki itu apalagi kepada dunia, termasuk Mila. Naya hanya diam pada
cintanya. Seolah dengan memendam hal itu, Naya pun sudah merasa cukup
nyaman dan bahagia. Mencintai diam-diam emang lagi mainstream
kali, ya?! Mengagumi dari jauh emang cukup membahagiakan gitu,
ya?! Cinta dalam hati emang masih jaman, ya?!
Mila
putus asa, biarlah Naya bergelut dengan dunia hatinya. Menyelam
sendirian tanpa seluruh dunia harus tahu. Toh, Mila juga ikut bahagia
melihat lengkung senyum di bibir Naya. Sejak menyukai lelaki itu,
dunia Naya berubah. Naya lebih merasa percaya diri dan menghargai
hidupnya. Mila memang mengetahui segala hal di dalam diri Naya. Hanya
Mila yang tahu bagaimana Naya yang saat itu sedang mengalami fase
rendah diri.
Naya
berkaca di depan cermin. Ada aura keraguan yang terus saja memenuhi
mimik mukanya. Ia datang dan memenuhi undangan itu atau harus
mengecewakan seseorang yang berharap akan kehadirannya. Malam ini
adalah reuni akbar pertama yang diadakan kawan-kawan SMA semenjak
mereka menggantung seragam putih abu-abunya sekitar 3 tahun lalu.
Jujur, Ia begitu merindu untuk bertemu dengan sang kawan-kawan lama.
Tapi ego dalam hatinya berkata lain, bahwa Ia tak harus untuk berada
di tengah-tengah mereka. Ia merasa bahwa dirinya 'berbeda' bila
berada di antara mereka. Ia merasa bahwa jika berada disana, dirinya
bakal dipandang sebelah mata. Ia merasa begitu karena hanya
dirinyalah yang tak bisa untuk mencapai mimpinya. Suatu perasaan yang
membuat Naya sangat tersiksa dan tak mampu menghilangkannya, paling
tidak untuk saat ini.
Ia
mengambil ponsel yang tergeletak di meja dekat cermin. Ia membaca
lagi, satu pesan dari seseorang yang berharap akan kehadirannya dalam
acara reuni itu.
"Lo
harus datang. Ayolah~ gue tunggu!"
***
Naya
melangkah gusar. Pintu besar itu semakin dekat, dan semakin terlihat
nyata. Dari arah luar pun, sorot lampu serta hentak musik begitu
terasa kental. Khas pesta anak-anak muda jaman sekarang. Naya
melangkah semakin dekat hendak masuk ke dalamnya. Seseorang terlihat
berdiri di bibir pintu besar, ada semburat senyum lebar yang
menghiasi garis mukanya. Sementara itu, langkah Naya berat dan
tiba-tiba terhenti. Hatinya terusik kembali oleh perasaan minder dan
kini kian membumbung. Bersamaan dengan hal tersebut, petir dan guntur
saling bersahut-sahutan berlomba untuk jadi satu-satunya yang akan
menguasai langit hitam pekat malam ini. Dan akhirnya hujan pun jadi
penengah, menurunkan bulir-bulir airnya yang sukses dalam sekian
detik mampu membasahi area itu. Seseorang di bibir pintu berteriak
memanggil Naya agar secepatnya masuk. Namun, Naya sama sekali tak
menghiraukannya. Malah Naya kemudian berbalik dan berlari di tengah
hujan. Naya ngga mampu. Naya harus menjauhi tempat ini.
"Naya!"
seseorang itu berlari menyelaraskan langkahnya dengan Naya. Kini,
mereka berdua saling berhadapan. "Ayo masuk!" lanjutnya, Ia
menggandeng tangan Naya bergegas mengajaknya masuk.
Naya
terdiam. Sama sekali ngga ada gerakan untuk mengikuti arahan
seseorang tersebut.
"Ayolah.
Ujan udah makin deras nih!" ujarnya keukeh.
"Stop,
Mila. Berhenti maksa gue untuk masuk ke dalam sana. Gue ngga bisa,
Mil" Naya berteriak. Suaranya meninggi, entah karena harus
bertarung melawan suara hujan ataukah suara hatinya?!
"Kenapa
Naya? Kenapa ngga bisa?" Mila meminta penjelasan. Mila
sebenarnya bisa menebak perasaan yang berkecamuk dalam diri
sahabatnya ini. Namun, Ia ingin mendengar secara langsung dan
berharap bahwa dugaannya salah.
"Gue
minder! Gue ngerasa terlalu takut untuk dipandang sebelah mata sama
mereka. Lebih baik, gue menjauhkan diri"
"Buang
jauh-jauh rasa minder lo itu, Naya. Apakah dengan menjauhkan diri
semuanya terlihat lebih baik? Lo salah, Naya. Lo harus hadapin
semuanya"
"Yang
gue tau pasti gue bakal datang saat gue udah bisa buktiin ke mereka
kalo gue bisa lakuin lebih dari yang mereka tau"
"Gue
tau perasaan lo. Hidup ini jangan dibikin ribet bisa kan?"
"Ngga
sesederhana itu, Mil. Lo terlalu bisa menyimpulkan sesuatu dari sudut
pandang lo sendiri"
Mila
terdiam. Ia menarik nafas berat. Baginya, sikap sahabatnya saat ini
sungguh memuakkan.
"Gue
harus pergi, Mil. Have fun!" Naya melangkah cepat. Ia buru-buru
untuk meninggalkan Mila.
Hingga
langkahnya terhenti (lagi) karena mendengar ucapan Mila yang
membelakanginya. "Lo pecundang. Lo yang memilih untuk jadi
seseorang yang kalah. Lo ngga berani untuk menghadapi apa yang harus
dijalani. Lo pengecut"
Naya
menelan ludah "Ya! itu aku, Mila" ungkapnya dalam hati. Dan
Naya pun melanjutkan langkahnya pergi.
***
"Lo
boleh ngejudge gue itu pengecut, pecundang atau apapun itu. Omongan
lo benar. Gue emang terlalu takut untuk menghadapi semuanya. Karena
gue bukan lo yang menganggap semuanya easy-to-going. Gue bukan lo
yang menganggap hidup ini let-it-flow aja. Gue bukan lo. Gue bakal
berusaha buktiin kalo gue mampu untuk berjuang dengan cara gue
sendiri. Semoga lo juga. Thanks udah alarm gue tentang betapa
pecundangnya diri gue. Thanks, you're my best!"
Kini,
Mila percaya bahwa Naya telah menjelma menjadi sosok yang lebih baik.
Mila sayang Naya. Semoga Tuhan selalu melindungi sahabatnya ini.
***
Naya
menyapa Mila yang berjalan berlawanan arah dengannya namun dibalas
dengan pandangan lo-siapa-nya khas Mila.
"Ini
gue, Naya" Ujar Naya gemas. Emang Mila lagi kesambet apa sih
sampe ngga ngeh sama sohib sendiri.
Mila
mendekatkan wajahnya ke arah Naya, seolah meyakinkan kalo itu beneran
Naya, sahabatnya. "Yaampun Naya" Teriak Mila tanpa rasa
ampun. Ngga peduli deh diliatin sama mata seluruh warga kampus.
"Lo
kenapa sih?"
"Lo-nya
yang kenapa? Tumben amat pake make-up gitu, gue sampe ngga ngenalin
perubahan lo"
"Emang
manusia ngga boleh berubah, ya?" Muka Naya menjadi polos atau
sengaja sok-polos.
Mila
menarik sedikit ujung bibirnya "Berubah pasti ada sebabnya dong,
Nay" Sembari mencubit dagu lancip Naya. "Tapi lo keliatan
lebih cantik kalo kayak gini. Serius" Lanjut Mila dibarengi aksi
angkat dua jempol yang menandakan pro terhadap perubahan Naya.
Benar
kata, Mila. Dari ujung kaki hingga kepala sosok Naya terlihat sangat
berbeda dari sebelumnya. Dulu, Naya cuek bebek soal penampilan. Ke
kampus pun, cuma pake sneakers
berwarna merah abstrak, jeans dan kemeja kotak-kotak favoritnya serta
tanpa polesan bedak sedikitpun. Emang dasarnya kulit Naya udah putih
sih jadi kalo ngga pake bedak pun no
problem at all. Lalu
beralih ke rambut hitam legam mencapai sebahu yang hanya diikat
dengan kuncir kuda. Seadanya. Namun sekarang, Naya menjelma jadi
seorang cewek tulen yang aware ke penampilannya. Naya memakai dress
hampir menyentuh lutut lengan pendek berwarna putih tulang dengan
aksen pita di bagian kerahnya. Ujung kakinya dihiasi wedges
ciamik setinggi lebih dari 5 sentimeter. Tak lupa polesan make-up
tipis namun tak terlalu menor serta warna lipstik yang senada dengan
bibirnya. Rambutnya? Jangan ditanya, tak ada kunciran kuda lagi. Naya
menggerai rambutnya itu dan mencurly
sedikit pada bagian ujungnya. Ya
Tuhan, Mila hampir
menahan nafas melihatnya.
Naya
menanggapi dengan santai kayak di pantai. "Biasa aja lah, Mil"
"Jangan-jangan
karena dia, ya?" Potong Mila cepat.
BINGO!
Naya mati kutu.
***
Mila
menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia menghela nafas berat. Dari
tadi tugas-nya ngga kelar-kelar. Stress
kan, jadinya. Mila
melirik Naya yang tengah serius mengetik beberapa laporan di
laptopnya. Duh,
sohibnya satu ini kalo udah sama tugas jadi lupa daratan.
"Nay,
gue laper nih"
Naya
berdehem. "Terus?"
"Ada
makanan ngga di dapur?"
Naya
menaruh laporannya. Ia menoleh. Ya
Tuhan, kasian amat ini
anak orang lagi kelaparan. "Gue masakin deh, lo pengen makan
apa?"
Mila
terkikik. "Canda deh, lo kan masak air aja bisa gosong. Gimana
mo masak yang lain coba?"
Naya
tak membalas ocehan Mila. Ia pun bergegas keluar kamar. Tak lama
kemudian, Naya datang membawa nampan berisi sepiring nasi goreng dan
segelas coklat panas. "Ini makan dulu, gih"
"Ini
lo yang masak. Enak ngga nih?" Sindir Mila. Dulu, Naya ngga
pernah bisa masak, bedain tepung sama garam aja ngga bisa.
"Cobain
dulu deh"
Mila
menyuapkan sesendok nasi goreng itu. Mila rada ngga percaya kalo ini
beneran masakan Naya, sumpah ini enak banget! "Lo kok jadi bisa
masak gini, sih?"
Naya
tersenyum. Ngga rugi deh akhir-akhir ini bantuin Mami masak di dapur.
Sekarang, ada hasilnya juga.
"Jangan-jangan
karena dia lagi, ya?" Sambung Mila, sembari menyuapkan nasi
goreng ke mulutnya untuk ke sekian kalinya.
Naya
mati kutu, lagi.
***
"Why
are you so far away.
You
know it's very hard for me.
To
get my self close to you.."
Petikan
gitar Naya menambah roh ke dalam lagu yang dinyanyikannya. Entahlah,
jiwanya seperti bertaut nyaman di dalamnya. Pantas saja, intuisi
musik Naya emang menurun dari sang Kakek, beliau adalah seorang
pianis hebat di zamannya. Bedanya, jika sang Kakek jago untuk alat
musik bernama piano sedangkan Naya mahir alat musik gitar. Ah,
Naya rindu Kakek!
"Lagi
curhat lewat lagu, Nay" Ujar Mila yang entah sejak kapan sudah
masuk ke kamar Naya dan duduk di sebelahnya. Saking, Naya terlalu
fokus menjiwai lagu itu.
"Sok
tau deh. Gue emang suka lagu ini" Naya mencoba berdalih. Tak
perlu membagi perasaannya pada siapapun juga. Tak penting!
"Sejak
kapan ceritanya lo bisa sukses bohongin gue" Mila selalu bisa
membaca perasaan Naya, meskipun hanya lewat kedipan mata.
Great!
Naya tak bisa berkata-kata.
Ryo
merogoh kantong celananya, mengeluarkan kotak kecil berwarna merah
dan membukanya di hadapan Ryn. "Aku ngga tau cara romantis untuk
ungkapin semuanya. Karena aku bukan lelaki romantis. Kamu tau itu
kan?" Ryo berhenti sebentar, menghela nafas pelan.
"..
Yang terpenting aku mau bilang kalo aku sayang kamu, aku butuh kamu,
dan aku pengen kamu jadi hakku. Dalam segala rasa, dalam segala
keadaan. Aku ngga janji untuk memberikan kebahagiaan seperti
balon-balon itu tapi yang aku tau, aku melindungi kamu saat kamu
takut mendengar letupan kembang api itu. Bagaimana dengan kamu?
Apakah kamu menerimaku, sebagai teman hidupmu, sebagai pusaran
duniamu dan sebagai tumpuan rasamu? Aku ingin mendampingimu, hingga
kita ngga lagi di dunia yang sama"
Ryn
menatap Ryo. Fokus. Tatapan mata Ryo teduh. Ryn juga ngga menemukan
aroma 'main-main' di mata Ryo. Yang ada hanya kesungguhan. Ryn
menghela nafas. Ryn siap. Ia menganggukkan kepalanya mantap tanpa
kata-kata panjang lebar seperti yang diungkapkan Ryo padanya. Namun
itu sudah lebih dari cukup untuk Ryo mencerna semuanya, Ia sumringah.
"Pemeran
Ryo romantis gila. Andai aja gue dilamar kayak gitu ya, Nay"
Komentar Mila saat asyik menonton tayangan drama yang tersaji di
depan tv, namun tak ada jawaban dari Naya.
Mila
pun sejenak menoleh dan melihat Naya tengah melamun. "Lo kenapa
jadi doyan ngelamun gini, Nay?"
Tergagap
Naya bangun dari lamunannya dan berusaha mencari jawaban
yang-agak-logis-untuk-diucapkan. "Gue lagi cari inspirasi buat
bikin lagu kok" Hanya itu yang bisa Naya ucapkan untuk saat ini.
"Tuh
kan ngebohong lagi. Dia emang udah bikin lo berubah ya"
Mila
mati kutu, untuk kesekian kalinya.
***
Bali
adalah kota terakhir yang menjadi destinasi tur liburan ketiga
muda-mudi ini. Setelah penat dengan segala urusan kuliah, saatnya
sejenak melemaskan otot-otot dan pikiran yang menegang gegara
rumus-rumus statistika plus matematika minus etika. Untuk destinasi
liburan tak perlu jauh-jauh ke negeri orang karena negeri sendiri pun
menyenangkan bahkan jauh lebih pas di kantong mahasiswa seperti
mereka. Waktu liburan yang singkat saja yakni sekitar sepuluh hari
memang mereka gunakan sebaik-baiknya untuk merefresh kejenuhan
suasana hati. Dari mulai menyusuri berbagai wahana di theme park
Dufan Ancol lalu berlanjut mendaki Gunung Semeru dan yang terakhir
menikmati setiap keindahan panorama alam serta budaya di Bali.
"Eh,
kita foto-foto dulu yuk" Mila emang paling semangat kalo udah di
depan kamera, serasa menemukan keceriaannya di benda penangkap gambar
itu.
"Sini
gue yang motret deh" Naya memegang kendali atas kamera yang
tadinya dipegang oleh pacar Mila. Naya, Mila sekaligus-pacarnya yang
merencanakan liburan ke Bali. Si cowoknya Mila itu nyaranin buat
liburan ke Bali karena emang dia punya villa disana yang cocok
digunakan saat liburan semacam ini. Jadi, ngga perlu repot-repot
menyewa kamar hotel atau semacamnya.
Mila
menggamit lengan kekar cowoknya. "Nay, fotoin gue sama Gresha
dong"
Naya
terdiam sebentar sebelum mengambil moment itu. "Maafkan
aku mencintai lelakimu, Mila"
Ungkapnya dalam hati.
KLIK!
Sederhana,
Naya bersumpah tak akan menyakiti hati Mila karena keegoisan
perasaannya. Naya tak ingin mengubah tawa menjadi luka. Naya tak
ingin mengubah kasih menjadi pedih. Naya tak ingin mengubah kesetiaan
menjadi pengkhianatan. Naya tak ingin sekalipun mengubah kebahagiaan
menjadi penderitaan. Naya sudah cukup cinta dengan cinta diam-diam.
Ssstt..